Harga Minyak Dunia Terjun Bebas, Ancaman Resesi Global Meningkat
Jakarta, 30 April 2025 – Harga minyak mentah dunia mengalami penurunan tajam dalam beberapa pekan terakhir, memicu kekhawatiran luas terhadap potensi resesi global pada tahun ini. Harga minyak Brent tercatat turun ke kisaran 64 dolar AS per barel, sementara minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) diperdagangkan mendekati 60 dolar AS per barel—angka terendah sejak awal April.
Penurunan drastis ini dipicu oleh sejumlah faktor utama, di antaranya meningkatnya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Langkah Presiden AS Donald Trump yang kembali menerapkan tarif tinggi terhadap berbagai produk impor asal Tiongkok telah memicu balasan serupa dari Beijing. Ketegangan ini menciptakan ketidakpastian yang mendalam terhadap pertumbuhan ekonomi global dan berdampak langsung pada permintaan energi, khususnya minyak mentah.
Selain itu, OPEC+—aliansi produsen minyak dunia—kini tengah mempertimbangkan untuk menaikkan produksi guna menstabilkan pasar. Namun langkah tersebut justru dikhawatirkan akan memperparah kondisi pasar dengan menciptakan surplus pasokan yang dapat mencapai satu juta barel per hari pada 2025.
Data ekonomi terbaru dari dua kekuatan ekonomi terbesar dunia menunjukkan tanda-tanda pelemahan. Di Amerika Serikat, permintaan minyak mentah cenderung stagnan, sementara di Tiongkok, konsumsi energi mulai mendekati puncaknya. Hal ini memperkuat kekhawatiran bahwa permintaan global untuk minyak akan terus melemah dalam beberapa tahun mendatang.
Meskipun harga minyak yang lebih rendah dapat membantu meredam inflasi dan menurunkan biaya energi bagi konsumen, negara-negara penghasil minyak seperti Rusia, Arab Saudi, dan sejumlah negara berkembang lainnya justru menghadapi tekanan fiskal yang semakin besar akibat berkurangnya pendapatan ekspor.
Sejumlah analis memperkirakan harga minyak bisa terus melemah hingga menyentuh level 58 dolar AS per barel pada 2026. Dalam skenario terburuk, harga bisa jatuh di bawah 40 dolar AS per barel jika resesi global benar-benar terjadi dan kebijakan pemangkasan produksi dari OPEC+ tidak berjalan efektif.
Dengan kondisi pasar yang tidak stabil dan ketidakpastian geopolitik yang tinggi, dunia kini menghadapi risiko perlambatan ekonomi yang lebih besar. Banyak pihak menyoroti perlunya kebijakan fiskal dan moneter yang lebih terkoordinasi untuk menghindari krisis global yang lebih dalam.