Kena Tarif Trump 32%, Indonesia Tetap Impor Minyak dan LPG dari AS
Jakarta, 8 Juli 2025 – Meskipun dikenakan tarif impor sebesar 32% oleh pemerintahan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, Indonesia tetap melanjutkan impor minyak dan LPG (Liquefied Petroleum Gas) dari AS. Kebijakan tarif yang diberlakukan pada masa pemerintahan Trump sempat menciptakan ketegangan dalam hubungan perdagangan antara kedua negara, namun Indonesia tidak menghentikan impor barang-barang energi tersebut.
Keputusan untuk tetap mengimpor komoditas vital ini berasal dari kebutuhan Indonesia untuk memenuhi permintaan energi domestik, terutama pasokan LPG yang sangat bergantung pada impor. Meskipun tarif yang tinggi dapat meningkatkan biaya impor, Indonesia tetap memilih untuk melanjutkan hubungan perdagangan dengan AS mengingat kualitas produk yang dihasilkan dan kestabilan pasokan dari negara tersebut.
Pada awalnya, kebijakan tarif yang diterapkan Trump didesain untuk melindungi industri domestik Amerika Serikat, sekaligus menekan negara-negara mitra dagang seperti China, Eropa, dan Indonesia. Bagi Indonesia, meskipun ada tarif tinggi, pasokan minyak dan LPG dari AS tetap dianggap penting, terutama untuk menjaga keseimbangan kebutuhan energi dalam negeri.
Seiring berjalannya waktu, Indonesia telah mencari solusi untuk mengurangi dampak tarif ini, termasuk dengan mencari alternatif pasokan energi dari negara-negara lain. Namun, dalam konteks minyak dan LPG, Amerika Serikat tetap menjadi salah satu negara penghasil utama yang menyuplai kebutuhan energi Indonesia.
Kebutuhan Energi yang Tak Tergantikan
Pentingnya minyak dan LPG dalam perekonomian Indonesia membuat sektor energi menjadi sangat sensitif terhadap perubahan kebijakan perdagangan. Meskipun beberapa negara penghasil minyak lainnya seperti Arab Saudi, Rusia, dan negara-negara produsen lainnya juga merupakan sumber pasokan energi, kualitas dan kontinuitas pasokan dari AS tetap menjadi faktor penentu.
Sumber daya alam dari AS, seperti shale oil dan LPG, memiliki daya tarik tersendiri karena relatif stabil dan seringkali memiliki harga yang bersaing meski tarif impor tinggi. Hal ini yang membuat Indonesia tetap memutuskan untuk tidak mengurangi volume impor, meskipun ada dampak tarif yang memberatkan.
Alternatif dan Perundingan Baru
Sadar akan dampak tarif tinggi terhadap biaya impor, pemerintah Indonesia terus mengupayakan cara-cara untuk memitigasi efek tersebut, baik dengan meningkatkan kerjasama dengan negara penghasil energi lainnya maupun melalui negosiasi dengan pemerintah AS untuk mengurangi beban tarif tersebut.
Salah satu langkah yang sedang dipertimbangkan adalah peningkatan kerjasama dalam sektor energi terbarukan, yang lebih ramah lingkungan dan dapat mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosil. Selain itu, Indonesia juga mulai memfokuskan diri pada pembangunan infrastruktur energi dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada impor.
Namun, bagi sektor minyak dan LPG, yang membutuhkan pasokan besar untuk memenuhi kebutuhan industri dan konsumen, keputusan untuk tetap mengimpor dari AS menunjukkan betapa pentingnya menjaga hubungan dagang yang stabil meski menghadapi kendala tarif.
Prospek Ke Depan
Ke depan, Indonesia akan terus mengkaji kebijakan impor energi dari AS, sambil memantau perubahan kebijakan perdagangan global. Dengan adanya potensi pergeseran kebijakan energi internasional, seperti rencana pengurangan emisi karbon di banyak negara besar, Indonesia akan memerlukan strategi jangka panjang untuk memastikan ketahanan energi nasional, yang seiring waktu mungkin akan mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Sementara itu, hubungan perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat tetap akan berlanjut, dengan harapan adanya pembicaraan yang lebih baik dan saling menguntungkan dalam bidang energi.